ANAK DESA YANG JADI MAHADWIJA
(Perjalanan Panjang Ayahandaku :
Prof. Drs. Sardanto Tjokrowinoto)
Prof. Drs. Sardanto Tjokrowinoto)
Sudah 2 bulan ayahandaku
meninggalkan dunia yang fana ini menghadap Sang Khalik. Ayah meninggal dunia
tanggal 4 Februari 2014. Rasanya belum
percaya kalau beliau sudah pergi.. masih terbayang pertemuan terakhir sebelum
beliau pergi.. Tulisan ini adalah kisah dan kesan tentang ayahandaku yang kebetulan IKPTM/GPPTM meminta saya untuk
menuliskannya. Semoga ada manfaat yang
dapat diambil dari sosok ayahandaku.
Anak Desa yang Bercita-cita Tinggi
Ayahku dilahirkan di desa
kecil Kabupaten Purworejo pada Tanggal 4 Mei 1929, ayahnya hanya seorang petani
sederhana tetapi terpandang di desanya mungkin karena masih keturunan laskar
Pangeran Diponegoro. Walau anak petani tapi ayah selalu ingin bersekolah bahkan
untuk bersekolah di sekolah dasar Belanda di Purworejo ayah harus berjalan kaki
10 Km dari desanya. Pada jaman penjajahan Jepang ayahku murid SMP di kota
Purworejo. Setelah Kemerdekaan karena jiwa patriotnya ayah masuk menjadi anggota
Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) yang akhirnya menjadi Tentara Pelajar
(TP) yang pada akhir tahun 1945, 1947 dan 1948 ikut berjuang melawan Belanda
yang ingin kembali menjajah Indonesia setelah merdeka. Ayah sering bercerita
tentang perjuangannya di garis depan melawan Belanda walau kala itu masih remaja
tetapi jiwa patriotnya luar biasa. Dari perjuangan melawan Belanda itulah ayah
mendapat banyak Bintang Tanda Jasa Pahlawan Gerilya, Veteran Pejuang
Kemerdekaan RI dan 4 Bintang Pahlawan Styl Penegak, Styl Aksi Mil.I, Styl Aksi
Mil. II dan Styl GOM I. Sebagai Veteran dengan pangkat Sersan Mayor pada akhir
hayatnya ayah di makamkan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang.
Setelah lulus SMP di
Purworejo tahun 1948 ayah ingin melanjutkan sekolah, tetapi di Purwirejo belum
ada SMA. Ayahpun pergi ke Yogyakarta untuk melanjutkan ke SMA. Di Jogyakarta
ayah menumpang tinggal di rumah saudara. Untuk dapat bersekolah di SMA ayah harus
bekerja karena orang tuanya tidak mampu membiayainya. Pagi hari bekerja sore
sampai malam bersekolah. Bukan hal mudah dengan ijazah SMP untuk mendapat
pekerjaan tetapi ayah berhasil diterima sebagai Pegawai Jawatan Listrik dan
Gas. Semangat ayah untuk merubah nasib anak desa dengan bersekolah tinggi
terwujud dengan diterimanya ayah setelah lulus SMA di Universitas Gadjah Mada (UGM)
Fakultas Sastra Pedagogik dan Filsafat pada tahun 1952.
Sebagai Guru PTM di Kutaraja Aceh
Pada tahun 1954 hubungan RI
– Belanda memanas sehingga banyak dosen-dosen warga Belanda yang pulang ke
negaranya. Kuliah di FSPF UGM yang dosennya banyak orang Belanda jadi
tersendat-sendat. Dari pada tidak ada kuliah maka ayah bergabung dalam PTM
(Pengerahan Tenaga Mahasiswa) yaitu kebaktian mahasiswa mengajar di SMA di luar
Jawa. Ayah tertarik bergabung dengan PTM karena ingin mencari pengalaman
sebagai guru selain akan mendapat jaminan tugas belajar (bea siswa) sampai
sarjana. Ayah memilih bertugas di Kutaraja Aceh. Dengan doa restu kedua orang
tuanya ayah berangkat ke Aceh. Di
Kutaraja ayah mengajar di SMA Negeri tetapi karena kekurangan guru ayah juga
diminta mengajar di SGHA dan PGAA bahkan ayah juga membuka SMA swasta Adidarma
untuk menampung lulusan SMP yang tidak tertampung di SMA Negeri, ayahku
diangkat sebagai Direkturnya. Di Kutaraja Aceh inilah ayahku bertemu dengan
ibuku gadis Meulaboh yang bersekolah di SGA Kutaraja. Pada akhirnya ayah dan ibu
menikah di Meulaboh pada tahun 1957 setelah melalui perjuangan karena pada
awalnya orang tua ibu tidak setuju anak gadisnya disunting orang jawa. Setelah
menikah dan selesai tugas mengajar di SMA Kutaraja ayah kembali ke Jogjakarta dengan
memboyong ibuku istrinya gadis Aceh.
Kembali ke Jogyakarta melanjutkan Kuliah dan Memulai
Karier
Ayah kembali ke Jogjakarta
untuk melanjutkan kuliah yang sempat tertunda karena tugas PTM menjadi guru SMA di Kutaraja. Untuk
mempererat sesama anggota PTM yang telah kembali ke Jogjakarta maka dibentuklah
organisasi juga Koperasi IKPTM (Ikatan Kekekuargaan Pengerahan Tenaga Mahasiswa)
ayah juga sebagai pengurusnya. Hubungan diantara anggota IKPTM sangat akrab dan
saling membantu. Diantara kesibukan ayah kuliah, bekerja dan berorganisasi
lahirlah 5 orang anak , aku anak nomor 3 tetapi 2 orang meninggal sewaktu masih
bayi.
Setelah ayah lulus sarjana
kami boyongan ke Jakarta karena ayah mendapat pekerjaan di Jakarta dan 1 adikku
lahir di Jakarta. Kurang dari 2 tahun kami tinggal di Jakarta ayah mendapat
tugas bekerja di Tegal Jawa Tengah. Di Tegal karier ayah mulai cemerlang, Ayah
adalah pribadi yang tekun dan disiplin dalam bekerja. Ayah juga orang yang suka
berorganisasi dan bergaul dengan segala lapisan masyarakat. Di Kota Tegal
selain bekerja sebagai Dosen IKIP Tegal dan menjabat Dekan Koordinator atau
Rektor, ayah juga aktif organisasisi KOSGORO dan partai politik Golkar sehingga
ayah menjadi Anggota DPR Kabupaten Tegal. Ayahku memang senang dengan keluarga
besar di Tegal 4 orang adikku lahir sehingga kami bersaudara 8 orang. Banyak
anak banyak rejeki itu prinsip ayahku, padahal waktu itu program Keluarga
Berencana (KB) baru mulai dicanangkan sehingga adik bungsuku tidak mendapat
jatah dari negara sebagai anak pegawai negeri. Delapan tahun kami tinggal di
Tegal, ayah harus memilih pindah ke Semarang karena IKIP Tegal bergabung dengan
IKIP Semarang atau tetap tinggal di Tegal sebagai Anggota DPR. Ayahku memilih kami
boyongan ke Semarang rupanya ayah lebih senang menjadi guru atau dosen
pekerjaan yang sangat dicintainya.
Di Semarang Kami Tumbuh dan Berkembang
Setelah berpindah-pindah
kota akhirnya kami menetap di Semarang ibukota Propinsi Jawa Tengah. Ibuku
sempat berkata “sudah ini kota terakhir , jangan pindah lagi yaa..” Rupanya perkataan ibu benar karena sampai
akhir hayatnya ayah bundaku tetap di Semarang. Setelah pindah ke Semarang ayah
hanya 2 tahun mengajar di IKIP Semarang, Fakultas Sastra UNDIP lebih
membutuhkan tenaga ayah untuk mengembangkannya karena itulah ayah pindah
menjadi dosen Fakultas Sastra Universitas Diponegoro. Di Semarang kami tumbuh
dan besar, kami delapan bersaudara ayahku hanya seorang dosen yang baru memulai
kariernya di UNDIP. Bisa dibayangkan waktu itu kami hidup sederhana, sebagai
anak mungkin banyak keinginan kami yang tidak dapat terpenuhi seperti
teman-teman sebaya. Limpahan kasih sayang ayah ibu pada kami sudah membuat kami
bahagia. Ayah orang yang tidak banyak omong selalu memberi contoh dengan
sikapnya yang tekun, tepat waktu, disiplin dan welas asih pada orang yang
susah. Ibundaku sebagai ibu dengan banyak anak memang cerewet tetapi
kata-katanya selalu penuh makna, berpandangan jauh ke depan dan selalu
mendorong kami anak-anaknya untuk rajin belajar dan harus meraih sarjana. Bundaku
selalu berkata “ Kalian harus sarjana karena hanya itu yang dapat kami berikan
untuk bekal hidupmu kelak”. Alhamdulillah kami delapan bersaudara sarjana
semua.
Seiring berjalannya waktu
karier ayahku terus menanjak, Ayah menjabat Dekan Fakultas Sastra dan pada
tahun 1989 puncak karier sebagai dosen diraihnya yaitu sebagai Guru Besar (Profesor)
Fakultas Sastra Universitas Diponegoro. Anak desa telah berhasil menjadi MahaDwija.
Kesenangan ayah berorganisasi sosial
maupun politik juga menuai hasil ayah menjadi Anggota DPRD Tingkat I Jawa
Tengah dari Partai Golkar pada tahun 1992-1997. Tahun 1993 adalah tahun
berkabung bagi kami sekeluarga, ibunda meninggal dunia karena sakit. Setelah
pensiun tahun 1996 ayah diminta menjadi
Rektor Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo. Sampai akhir hayatnya di
usia 85 tahun ayah masih memberi kuliah di Univet tersebut walaupun kami
anak-anaknya sudah melarang karena jaraknya yang cukup jauh dari Semarang.
Semangat dan rasa cintanya pada profesi mengajar juga merasa masih dibutuhkan
yang tetap membuat ayah bolak-balik ke Univet Sukoharjo.
Kini ayahandaku telah tiada
tetapi kenangan akan beliau akan terus ada dihati anak-anak dan cucu-cucunya
Keluarga Besar Tjakrawinatan. Beliau adalah panutan kami. Semoga ayah khusnul
khotimah diampuni segala dosa dan diterima amal ibadahnya bersama ibunda yang
telah lebih dahulu menghadapNya. Amin YRA.
Malang, 5 April 2014
Dr. Ir. Tri Dewanti Widyaningsih, M.Kes.
Beserta kakak dan adik :
dr. Taufik Kresno Dwiyanto, Sp.PD., SH.
Drs. Nursaman Imam Mustakim.
Letkol Inf. Sangadi Putrowinoto, S.Sos.
Firmansyah Halim Yulianto, SH
Nur Komar Asriningdyah, S.Sos.
Dr. Ir. Tri Dewanti Widyaningsih, M.Kes.
Beserta kakak dan adik :
dr. Taufik Kresno Dwiyanto, Sp.PD., SH.
dr. Siti Istiqomah
Khamsiati, Sp.S
Dyah Mutiara Yuniarti, SEDrs. Nursaman Imam Mustakim.
Letkol Inf. Sangadi Putrowinoto, S.Sos.
Firmansyah Halim Yulianto, SH
Nur Komar Asriningdyah, S.Sos.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar