Sabtu, 05 April 2014

ANAK DESA YANG JADI MAHADWIJA



ANAK DESA YANG JADI MAHADWIJA
    (Perjalanan Panjang Ayahandaku :   
Prof. Drs. Sardanto Tjokrowinoto)

Sudah 2 bulan ayahandaku meninggalkan dunia yang fana ini menghadap Sang Khalik. Ayah meninggal dunia tanggal 4 Februari 2014.  Rasanya belum percaya kalau beliau sudah pergi.. masih terbayang pertemuan terakhir sebelum beliau pergi.. Tulisan ini adalah kisah dan kesan tentang ayahandaku  yang kebetulan IKPTM/GPPTM meminta saya untuk menuliskannya.  Semoga ada manfaat yang dapat diambil dari sosok ayahandaku.
 
Anak Desa yang Bercita-cita Tinggi

Ayahku dilahirkan di desa kecil Kabupaten Purworejo pada Tanggal 4 Mei 1929, ayahnya hanya seorang petani sederhana tetapi terpandang di desanya mungkin karena masih keturunan laskar Pangeran Diponegoro. Walau anak petani tapi ayah selalu ingin bersekolah bahkan untuk bersekolah di sekolah dasar Belanda di Purworejo ayah harus berjalan kaki 10 Km dari desanya. Pada jaman penjajahan Jepang ayahku murid SMP di kota Purworejo. Setelah Kemerdekaan karena jiwa patriotnya ayah masuk menjadi anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) yang akhirnya menjadi Tentara Pelajar (TP) yang pada akhir tahun 1945, 1947 dan 1948 ikut berjuang melawan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia setelah merdeka. Ayah sering bercerita tentang perjuangannya di garis depan melawan Belanda walau kala itu masih remaja tetapi jiwa patriotnya luar biasa. Dari perjuangan melawan Belanda itulah ayah mendapat banyak Bintang Tanda Jasa Pahlawan Gerilya, Veteran Pejuang Kemerdekaan RI dan 4 Bintang Pahlawan Styl Penegak, Styl Aksi Mil.I, Styl Aksi Mil. II dan Styl GOM I. Sebagai Veteran dengan pangkat Sersan Mayor pada akhir hayatnya ayah di makamkan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang.
Setelah lulus SMP di Purworejo tahun 1948 ayah ingin melanjutkan sekolah, tetapi di Purwirejo belum ada SMA. Ayahpun pergi ke Yogyakarta untuk melanjutkan ke SMA. Di Jogyakarta ayah menumpang tinggal di rumah saudara. Untuk dapat bersekolah di SMA ayah harus bekerja karena orang tuanya tidak mampu membiayainya. Pagi hari bekerja sore sampai malam bersekolah. Bukan hal mudah dengan ijazah SMP untuk mendapat pekerjaan tetapi ayah berhasil diterima sebagai Pegawai Jawatan Listrik dan Gas. Semangat ayah untuk merubah nasib anak desa dengan bersekolah tinggi terwujud dengan diterimanya ayah setelah lulus SMA di Universitas Gadjah Mada (UGM) Fakultas Sastra Pedagogik dan Filsafat pada tahun 1952.
 
Sebagai Guru PTM di Kutaraja Aceh 

Pada tahun 1954 hubungan RI – Belanda memanas sehingga banyak dosen-dosen warga Belanda yang pulang ke negaranya. Kuliah di FSPF UGM yang dosennya banyak orang Belanda jadi tersendat-sendat. Dari pada tidak ada kuliah maka ayah bergabung dalam PTM (Pengerahan Tenaga Mahasiswa) yaitu kebaktian mahasiswa mengajar di SMA di luar Jawa. Ayah tertarik bergabung dengan PTM karena ingin mencari pengalaman sebagai guru selain akan mendapat jaminan tugas belajar (bea siswa) sampai sarjana. Ayah memilih bertugas di Kutaraja Aceh. Dengan doa restu kedua orang tuanya  ayah berangkat ke Aceh. Di Kutaraja ayah mengajar di SMA Negeri tetapi karena kekurangan guru ayah juga diminta mengajar di SGHA dan PGAA bahkan ayah juga membuka SMA swasta Adidarma untuk menampung lulusan SMP yang tidak tertampung di SMA Negeri, ayahku diangkat sebagai Direkturnya. Di Kutaraja Aceh inilah ayahku bertemu dengan ibuku gadis Meulaboh yang bersekolah di SGA Kutaraja. Pada akhirnya ayah dan ibu menikah di Meulaboh pada tahun 1957 setelah melalui perjuangan karena pada awalnya orang tua ibu tidak setuju anak gadisnya disunting orang jawa. Setelah menikah dan selesai tugas mengajar di SMA  Kutaraja ayah kembali ke Jogjakarta dengan memboyong ibuku istrinya gadis Aceh.

Kembali ke Jogyakarta melanjutkan Kuliah dan Memulai Karier

Ayah kembali ke Jogjakarta untuk melanjutkan kuliah yang sempat tertunda karena tugas  PTM menjadi guru SMA di Kutaraja. Untuk mempererat sesama anggota PTM yang telah kembali ke Jogjakarta maka dibentuklah organisasi juga Koperasi IKPTM (Ikatan Kekekuargaan Pengerahan Tenaga Mahasiswa) ayah juga sebagai pengurusnya. Hubungan diantara anggota IKPTM sangat akrab dan saling membantu. Diantara kesibukan ayah kuliah, bekerja dan berorganisasi lahirlah 5 orang anak , aku anak nomor 3 tetapi 2 orang meninggal sewaktu masih bayi.
Setelah ayah lulus sarjana kami boyongan ke Jakarta karena ayah mendapat pekerjaan di Jakarta dan 1 adikku lahir di Jakarta. Kurang dari 2 tahun kami tinggal di Jakarta ayah mendapat tugas bekerja di Tegal Jawa Tengah. Di Tegal karier ayah mulai cemerlang, Ayah adalah pribadi yang tekun dan disiplin dalam bekerja. Ayah juga orang yang suka berorganisasi dan bergaul dengan segala lapisan masyarakat. Di Kota Tegal selain bekerja sebagai Dosen IKIP Tegal dan menjabat Dekan Koordinator atau Rektor, ayah juga aktif organisasisi KOSGORO dan partai politik Golkar sehingga ayah menjadi Anggota DPR Kabupaten Tegal. Ayahku memang senang dengan keluarga besar di Tegal 4 orang adikku lahir sehingga kami bersaudara 8 orang. Banyak anak banyak rejeki itu prinsip ayahku, padahal waktu itu program Keluarga Berencana (KB) baru mulai dicanangkan sehingga adik bungsuku tidak mendapat jatah dari negara sebagai anak pegawai negeri. Delapan tahun kami tinggal di Tegal, ayah harus memilih pindah ke Semarang karena IKIP Tegal bergabung dengan IKIP Semarang atau tetap tinggal di Tegal sebagai Anggota DPR. Ayahku memilih kami boyongan ke Semarang rupanya ayah lebih senang menjadi guru atau dosen pekerjaan yang sangat dicintainya.

Di Semarang Kami Tumbuh dan Berkembang

Setelah berpindah-pindah kota akhirnya kami menetap di Semarang ibukota Propinsi Jawa Tengah. Ibuku sempat berkata “sudah ini kota terakhir , jangan pindah lagi yaa..”  Rupanya perkataan ibu benar karena sampai akhir hayatnya ayah bundaku tetap di Semarang. Setelah pindah ke Semarang ayah hanya 2 tahun mengajar di IKIP Semarang, Fakultas Sastra UNDIP lebih membutuhkan tenaga ayah untuk mengembangkannya karena itulah ayah pindah menjadi dosen Fakultas Sastra Universitas Diponegoro. Di Semarang kami tumbuh dan besar, kami delapan bersaudara ayahku hanya seorang dosen yang baru memulai kariernya di UNDIP. Bisa dibayangkan waktu itu kami hidup sederhana, sebagai anak mungkin banyak keinginan kami yang tidak dapat terpenuhi seperti teman-teman sebaya. Limpahan kasih sayang ayah ibu pada kami sudah membuat kami bahagia. Ayah orang yang tidak banyak omong selalu memberi contoh dengan sikapnya yang tekun, tepat waktu, disiplin dan welas asih pada orang yang susah. Ibundaku sebagai ibu dengan banyak anak memang cerewet tetapi kata-katanya selalu penuh makna, berpandangan jauh ke depan dan selalu mendorong kami anak-anaknya untuk rajin belajar dan harus meraih sarjana. Bundaku selalu berkata “ Kalian harus sarjana karena hanya itu yang dapat kami berikan untuk bekal hidupmu kelak”. Alhamdulillah kami delapan bersaudara sarjana semua.
Seiring berjalannya waktu karier ayahku terus menanjak, Ayah menjabat Dekan Fakultas Sastra dan pada tahun 1989 puncak karier sebagai dosen diraihnya yaitu sebagai Guru Besar (Profesor) Fakultas Sastra Universitas Diponegoro. Anak desa telah berhasil menjadi MahaDwija.  Kesenangan ayah berorganisasi sosial maupun politik juga menuai hasil ayah menjadi Anggota DPRD Tingkat I Jawa Tengah dari Partai Golkar pada tahun 1992-1997. Tahun 1993 adalah tahun berkabung bagi kami sekeluarga, ibunda meninggal dunia karena sakit. Setelah pensiun  tahun 1996 ayah diminta menjadi Rektor Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo. Sampai akhir hayatnya di usia 85 tahun ayah masih memberi kuliah di Univet tersebut walaupun kami anak-anaknya sudah melarang karena jaraknya yang cukup jauh dari Semarang. Semangat dan rasa cintanya pada profesi mengajar juga merasa masih dibutuhkan yang tetap membuat ayah bolak-balik ke Univet Sukoharjo.
Kini ayahandaku telah tiada tetapi kenangan akan beliau akan terus ada dihati anak-anak dan cucu-cucunya Keluarga Besar Tjakrawinatan. Beliau adalah panutan kami. Semoga ayah khusnul khotimah diampuni segala dosa dan diterima amal ibadahnya bersama ibunda yang telah lebih dahulu menghadapNya. Amin YRA.

Malang, 5 April 2014 

Dr. Ir. Tri Dewanti Widyaningsih, M.Kes. 

  Beserta kakak dan adik :
dr. Taufik Kresno Dwiyanto, Sp.PD., SH.
dr. Siti Istiqomah Khamsiati, Sp.S  
Dyah Mutiara Yuniarti, SE
  Drs. Nursaman Imam Mustakim.
Letkol Inf. Sangadi Putrowinoto, S.Sos.
Firmansyah Halim Yulianto, SH
Nur Komar Asriningdyah, S.Sos.